Komisioner PBB Kecam Indonesia soal Diskriminasi LGBT

Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein mengkhawatirkan revisi KUHP yang bakal melegalkan diskriminasi terhadap minoritas, termasuk kaum LGBT.

Menit.co.id – Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Zeid Ra’ad Al Hussein, mengungkapkan keprihatinannya atas sejumlah revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang bakal disahkan Dewan Perwakilan Rakyat 14 Februari mendatang.

Amendemen yang bakal disahkan tersebut, menurutnya, mengandung diskriminasi dan pelanggaran HAM kepada kaum minoritas.

“Saya sangat prihatin dengan revisi KUHP di Indonesia baru-baru ini. Amandemen ini tidak sejalan dengan toleransi dan budaya yang telah berlangsung di Indonesia. Pandangan ekstremis yang bermain di arena politik seperti ini sangatlah mengkhawatirkan,” kata Zeid dalam jumpa pers di kantor perwakilan PBB di Jakarta, Rabu (7/2).

Sejak pertama kali diusulkan, revisi KUHP memang menuai banyak perdebatan tak hanya di antara perumus UU yakni DPR dan pemerintah, tapi juga mendulang kecaman dari kalangan masyarakat terutama pegiat HAM.

Sejumlah pasal kontroversial dan krusial yang menjadi perdebatan adalah larangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang tertuang dalam pasal 219-221.

Juga pasal 263-264 yang memuat sanksi terhadap penghina presiden dan wakil presiden. Serta pasal pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, pasal perluasan zina, dan pasal sanksi pencabulan dan hubungan sesama jenis.

Menurut Zein, pasal-pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi sebagian besar kelompok minoritas di Indonesia yang pada dasarnya sudah rentan terhadap tindakan diskriminasi, seperti kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Dia mengatakan belakangan dirinya juga mendengar semakin banyak laporan mengenai tindakan diskriminatif hingga kriminalisasi kaum LGBT di Indonesia. Salah satu yang ia soroti adalah penangkapan belasan waria di Provinsi Aceh sekitar akhir Januari lalu.

Selain ditangkap, belasan waria itu dibina agar berperilaku seperti layaknya pria termasuk mencukur rambut-rambut mereka.

Penangkapan belasan waria itu dilakukan polisi dalam razia yang dinamakan Operasi Penyakit Masyarakat untuk mencegah meningkatnya populasi kaum LGBT.

LGBT dinilai akan berdampak buruk terhadap generasi penerus bangsa. Operasi pekat itu juga disebut telah mendapat restu dari ulama di Aceh, provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum islam.

“Ini sangat mengkhawatirkan, di mana semakin meningkatnya hasutan terhadap diskriminasi, kebencian, kekerasan, diberbagai wilayah, termasuk di Aceh,” kata Zein.

“LGBT Indonesia sudah menghadapi stigma, ancaman, dan intimidasi. Retorika kebencian terhadap komunitas ini sering dimanfaatkan untuk tujuan politik yang sinis dan hanya akan memperdalam penderitaan mereka dan perpecahan dalam masyarakat,” lanjutnya.

Selain revisi KUHP, Zein juga menyinggung penerapan pasal penistaan agama dalam UU Indonesia yang menurutnya tidak lah jelas.

Ia menganggap pasal 156a-b KUHP tentang tentang permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama cenderung mengkriminalisasi kelompok agama minoritas.

“Saya juga menyatakan keprihatinan saya kepada pemerintah mengenai penerapan undang-undang penistaan agama yang tidak jelas, yang telah digunakan untuk menghukum anggota kelompok agama atau agama minoritas,” paparnya.

“Jika kita tidak ingin didiskriminasikan berdasarkan ras, agama, atau jenis kelamin, jangan mendiskriminasikan orang berdasarkan itu semua. Dan jika masyarakat Muslim mengharapkan orang lain melawan Islamofobia, kita juga harus siap mengakhiri diskriminasi di negara sendiri. Islamofobia jelas salah. Seluruh diskriminasi dalam bentuk apa pun jelas salah,” lanjutnya.

Pasal penodaan agama telah digunakan belakangan ini untuk mengkriminalisasi sejumlah pihak. Sebagai contoh, kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang saat ini masih mendekam di penjara, dua komika Indonesia yakni Joshua dan G Pamungkas, serta baru-baru ini kasus politikus Partai NasDem Viktor Laiskodat.

(cnn/cnn)