Kementerian ESDM Buka Insentif Tambahan Energi Baru Terbarukan

Menit.co.id – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan masih membuka peluang untuk menambah insentif bagi pengembang listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Asal, insentif yang sudah ada dianggap masih belum mumpuni untuk dunia usaha.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah selalu membuka ruang untuk diskusi dengan pelaku usaha karena hal tersebut menjadi ajang pembelajaran bagi pemerintah. Apalagi, pemerintah beserta PT PLN (Persero) juga memiliki target pemanfaatan EBT yang cukup tinggi 10 tahun mendatang.

Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pemanfaatan EBT sekiranya berkontribusi 22,4 persen terhadap bauran energi nasional tahun 2026 mendatang. Angka ini melesat jauh dibanding pemanfaatan EBT hingga akhir tahun 2016 silam yang hanya 11,9 persen dari bauran energi.

“Kami terbuka agar energy mix tercapai, apakah itu dari surya, bayu, atau biomassa. Kami memperbaiki diri, jika ada yang belum bisa ditutupi dengan stimulus, kami akan pertimbangkan (insentif tambahan). Termasuk revisi Peraturan Menteri,” kata Arcandra ditemui di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (3/8).

Meski demikian, insentif yang diberikan harus sesuai proporsi. Dunia usaha, lanjutnya, boleh saja mendapat rangsangan dari pemerintah, asal pelaku usaha juga bisa berlaku adil terhadap masyarakat. Dengan kata lain, insentif yang diberikan harus dikompensasi dengan tarif listrik yang lebih efisien.

Di samping itu, insentif yang diguyur juga harus bisa mendukung pemanfaatan sumber energi berbasis EBT yang terdapat di suatu wilayah tertentu.

Ia mencontohkan benua Eropa yang bisa memanfaatkan tenaga bayu karena punya potensi angin yang cukup kencang, atau Indonesia yang disebutnya memiliki potensi panas bumi yang cukup mumpuni, yakni 29.554 megawatt (MW).

“Ketika melihat renewable energy, maka itu harus mengedepankan kearifan lokal,” imbuhnya.

Mengembangkan pembangkit EBT, imbuh Arcandra, memang tergolong lebih mahal dibanding pembangkit tenaga primer. Namun, perihal mahal atau tidak, dianggap relatif tergantung persaingannya dengan pembangkit tenaga lainnya.

“Kalau di Jawa, mengembangkan pembangkit EBT mungkin mahal karena compete dengan pembangkit tenaga lain yang bisa lebih murah. Namun kalau di pedalaman, EBT bisa membantu phase out penggunaan diesel,” pungkasnya.

Adapun di awal tahun ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 yang mengatur harga pembelian tarif setrum dari pembangkit EBT.

Berdasarkan beleid tersebut, tarif beli listrik PLN dari pengembang listrik berbasis EBT ditetapkan 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit regional, kecuali bagi pembangkit tenaga sampah dan panas bumi yang dipatok 100 persen dari BPP regional.

Meski demikian, pemerintah kemudian merevisi aturan tersebut menjadi Permen ESDM Nomor 43 tahun 2017 sesuai masukan dunia usaha. Di dalam aturan itu, memang pemerintah baru merevisi tarif beli setrum dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), di mana harga jual listriknya bisa mengikuti BPP regional jika BPP pembangkitannya lebih tinggi dari BPP nasional.

(cnn/cnn)