Ledakan Pipa Minyak Libya Dongkrak Harga Minyak Dunia

Harga minyak dunia menyentuh level tertingginya dalam 2,5 tahun terakhir, dipicu oleh ledakan pipa minyak di Libya dan pemangkasan produksi minyak OPEC. (REUTERS/Stringer).

Menit.co.id – Harga minyak dunia menyentuh level tertingginya dalam 2,5 tahun terakhir pada perdagangan Selasa (26/12), waktu Amerika Serikat (AS).

Kenaikan tersebut dipicu oleh ledakan pada pipa minyak mentah di Libya dan kesepakatan pemangkasan produksi minyak yang diinisiasi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Dilansir dari Reuters, Rabu (27/12), harga minyak mentah acuan Brent terkerek US$1,51 atau 2,31 persen menjadi US$66,76 per barel pada Selasa (26/12) pukul 11.40 EST atau sekitar 23.40 WIB. Pada sesi perdagangan yang sama, harga Brent sempat menyentuh US$66,83 per barel, tertinggi sejak akhir Mei 2015.

Kenaikan juga terjadi terjadi harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesesar US$1,29 atau 2,21 persen menjadi US$59,76 per barel. Dalam sesi perdagangan selumnya, harga WTI sempat mencapai US$59,76 per barel, tertinggi sejak Juni 2015.

Berdasarkan keterangan sumber Reuters di Libya, ledakan pipa miyak yang terjadi di pelabuhan minyak Es Sider, Libya Timur, itu menghilangkan sekitar 90 ribu barel per hari (bph). Perusahaan minyak masih menghitung besaran kerugiannya.

Seorang sumber tentara Libya sebelumnya menyatakan ledakan tersebut dilakukan oleh pasukan bersenjata. Padahal, dalam beberapa bulan terakhir, produksi minyak di Libya tengah berangsur pulih setelah tertahan oleh konfik dan kerusuhan selama bertahun-tahun.

Sementara itu, pulihnya pipa minyak Laut Utara, Forties, menghambat reli harga. Uji coba telah dilakukan pada pipa pasca dilakukannya perbaikan. Operator pipa INEOS menyatakan bahwa pipa akan kembali beroperasi normal pada awal Januari 2018.

Sebelumnya, operasional pipa Forties telah ditutup sejak 11 Desember lalu pasca ditemukannya retakan. Forties merupakan satu dari lima aliran minyak yang menentukan harga Brent, harga acuan perdagangan minyak di Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia.

“Perlu diingat bahwa lapangan dan pipa minyak (Forties) sudah tua dan mungkin bermasalah dan mungkin itu penyebab pasar tidak melakukan aksi jual,” ujar broker ICAP Scott Shelton di Durham, Carolina Utara.

Sepanjang 2017, harga minyak mentah Brent telah melonjak 17 persen dan harga minyak mentah AS naik 11 persen.

Salah satu pemicunya adalah kesepakatan pemangkasan produksi minyak sebesar 1,8 juta bph yang dilakukan oleh OPEC dan beberapa negara produsen minyak lain, termasuk Rusia. Kesepakatan tersebut berlaku sejak Januari 2017 dan berakhir pada akhir 2018.

Senin (25/12) lalu, Menteri Perminyakan Irak Jabar al-Luaibi menyatakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran minyak bakal terjadi pada kuartal pertama 2018, yang akan memicu kenaikan harga. Ia menambahkan, persediaan minyak global telah turun ke level yang bisa diterima.

Prediksi al-Luaibi lebih dini dibandingkan proyeksi resmi OPEC yang memperkirakan keseimbangan pasar baru akan terjadi pada akhir tahun depan.

Pengiriman minyak AS ke China, salah satu konsumen minyak terbesar dunia, telah diuntungkan dengan kesepakatan pemangkasan produksi minyak OPEC tersebut.

Namun, berdasarkan data kepabeanan China, Rusia merupakan negara pengekspor minyak terbesar ke China selama sembilan bulan terakhir hingga akhir November, menggungguli Arab Saudi.

Di sisi lain, kenaikan produksi minyak AS mengimbangi upaya pemangkasan produksi OPEC. Berdasarkan laporan Baker Hugher, jumlah rig AS mencapai 747 rig pekan lalu, lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya sebesar 523 rig. Sebagai catatan, jumlah rig merupakan indikator produksi di masa depan.

Dari sisi volume, volume perdagangan relatif tipis akibat libur Natal di banyak negara. Tercatat, hanya 50 ribu kontrak Brent yang berpindah tangan kemarin. lebih rendah dari rata-rata harian yang bisa mencapai 250 ribu kontrak.

(cnn/cnn)