Joko Pinurbo Meninggal, Dunia Sastra Indonesia Berduka

Puisi Joko Pinurbo

MENIT.CO.ID – Dunia sastra Indonesia berduka atas kepergian penyair terkemuka, Joko Pinurbo, yang menghembuskan napas terakhir di usia 61 tahun di Yogyakarta pada Sabtu (27/4/2024).

Kabar duka ini dikonfirmasi oleh Ulin Ni’am Yusron, rekan seperjuangan Jokpin, melalui unggahan di akun Instagramnya @ulinyusron.

“Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Telah berpulang penyair, panutan, dan pembimbingku di S2 IKJ, Mas @jokpin.jogja tadi pagi. Saat ini jenazah masih di RS dan akan disemayamkan di PUKY siang nanti. Almarhum akan dimakamkan besok Minggu di Sleman,” tulis Ulin dalam unggahannya.

Joko Pinurbo, yang akrab disapa Jokpin, dikenal sebagai penyair ternama di Indonesia. Karya-karyanya yang penuh makna dan menyentuh hati telah menginspirasi banyak penikmat puisi, termasuk generasi muda.

Beberapa karyanya yang terkenal di antaranya “Celana” (1999), “Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung” (2007), “Di Bawah Kibaran Sarung” (2001), “Pacarkecilku” (2002), hingga “Telepon Genggam” (2003).

Baru-baru ini, karyanya yang berjudul “Perjamuan: Khong Guan: Kumpulan Puisi” diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2020. Di media sosial, Jokpin dikenal aktif dengan tagar #SelamatMenunaikanIbadahPuisi, menyebarkan pesan-pesan positif melalui karyanya.

Ulin, dalam unggahannya, menyampaikan rasa duka cita yang mendalam dan doa terbaiknya untuk Jokpin. “Sugeng Tindak Mas Jokpin. Selamat berkumpul di swargaloka, mencipta puisi indah bersama Pak @damonosapardi,” tulisnya.

Kepergian Joko Pinurbo merupakan kehilangan besar bagi dunia sastra Indonesia. Karyanya yang penuh makna dan inspiratif akan terus dikenang dan dinikmati oleh para penikmat puisi di seluruh tanah air.

Profil Joko Pinurbo

Joko Pinurbo, lebih dikenal dengan Jokpin, adalah seorang penyair ternama Indonesia yang telah mewarnai dunia sastra dengan puisinya yang unik dan penuh makna. Lahir di Magelang pada 11 Mei 1962, Jokpin telah menghasilkan karya-karya luar biasa yang mengantarkannya meraih berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Kusala Sastra Award dan Cipta Award.

Puisi-puisi Jokpin terkenal dengan gaya khasnya yang memadukan narasi, humor, dan ironi. Ia piawai dalam menggunakan dan mengolah citraan yang merujuk pada peristiwa dan objek sehari-hari dengan bahasa yang cair namun tajam. Tak heran, puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi yang menyentuh absurditas kehidupan sehari-hari.

Salah satu ciri khas puisi Jokpin adalah kesederhanaannya. Ia mampu mengangkat tema-tema rumit dan kompleks menjadi mudah dipahami dan dinikmati oleh pembaca dari berbagai kalangan. Tak jarang, puisinya juga diwarnai dengan sentuhan satire dan kritik sosial yang dikemas dengan cerdas dan menghibur.

Karya-karya Jokpin telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Inggris, Belanda, Jerman, dan Jepang. Ia pun aktif dalam berbagai kegiatan sastra, baik di dalam maupun luar negeri. Kehadirannya selalu dinanti-nantikan oleh para pecinta puisi karena kemampuannya yang luar biasa dalam membangkitkan imajinasi dan menggugah pemikiran.

Meninggalnya Sang Maestro

Pada tanggal 27 April 2024, dunia sastra Indonesia berduka atas meninggalnya Joko Pinurbo di usia 62 tahun. Kepergiannya meninggalkan kekosongan besar di hati para pecinta puisi dan penikmat sastra.

Meskipun telah tiada, karya-karya Jokpin akan terus hidup dan abadi. Puisi-puisinya akan selalu menjadi sumber inspirasi dan refleksi bagi generasi sekarang dan masa depan.

Berikut beberapa karya terkenal Joko Pinurbo:

  • Celana (1999)
  • Di Bawah Kibaran Sarung (2001)
  • Pacarkecilku (2002)
  • Telepon Genggam (2003)
  • Celana Pendek (2009)
  • Buku Harian Percayalah (2012)
  • Sejumput Garam (2015)

Penghargaan yang diraih Joko Pinurbo:

  • Kusala Sastra Award (2000)
  • Cipta Award (2001)
  • Hadiah Puisi Putu Wijaya (2006)
  • Penghargaan Sastra Khatulistiwa (2016)

Joko Pinurbo telah meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi dunia sastra Indonesia. Ia akan selalu dikenang sebagai maestro puisi yang telah menghibur dan memicu refleksi bagi para pembacanya.

Exit mobile version