Rudal Iran Serang Israel, Ini 5 Dampak Buruk Bisa Kena Indonesia

Rudal Iran Serang Israel

MENIT.CO.ID – Rudal Iran serang Israel menjadi kabar yang menghebohkan dunia. Kondisi geopolitik di Timur Tengah saat ini tengah memanas.

Di mana pada Sabtu (13/4) malam, tampak sebuah rekaman video memperlihatkan Iran meluncurkan serangan drone dan rudal ke Israel viral di media sosial.

Konflik di Tumur Tengah diperkirakan akan melambungkan harga komoditas mulai dari emas hingga minyak mentah.

Seperti diketahui, serangan drone pada Sabtu yang merupakan serangan langsung pertamanya terhadap wilayah Tel Aviv.

Ini berisiko meningkatkan eskalasi regional karena Amerika Serikat (AS) berjanji memberikan dukungan “kuat” kepada Israel.

Serangan Iran terjadi ketika proksi Teheran di Irak, Lebanon, Suriah dan Yaman melancarkan serangkaian serangan terhadap sasaran-sasaran Israel dan Barat sejak tanggal 7 Oktober, ketika Hamas yang didukung Iran melancarkan serangan teror yang menghancurkan di Israel selatan, sehingga memicu serangan membabi buta Tel Aviv ke Gaza, Palestina.

Letak geografis Iran dan Israel yang berada di Timur Tengah adalah salah satu alasan mengapa konflik kedua negara bisa memicu harga minyak. Timur Tengah adalah salah satu wilayah dengan produsen terbesar di dunia.

Posisi Israel sebagai sekutu Amerika Serikat (AS) juga dikhawatirkan bisa membawa konflik di Timur Tengah meluas sehingga dampak ke ekonomi bisa semakin besar.

5 Skenario Buruk Dapat Mempengaruhi Indonesia

Apabila konflik antara Iran dan Israel meluas, beberapa skenario buruk dapat mempengaruhi Indonesia dengan dampak negatif yang signifikan. Berikut adalah beberapa di antaranya seperti dikutip dari CNBC Indonesia:

1. Lonjakan Harga Minyak

Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia, dengan produksi mencapai sekitar 3,9 juta barel per hari (bpd), dan ekspornya diperkirakan mencapai 1,29 juta bpd pada tahun 2023.

Perang tidak hanya akan mengganggu produksi minyak, tetapi juga jalur distribusinya, mengakibatkan gangguan pasokan yang berpotensi meningkatkan harga minyak secara global.

Contohnya, pada Senin setelah pecahnya konflik Israel vs Hamas pada akhir pekan tanggal 7 Oktober 2023, harga minyak langsung melonjak 4%. Begitu pula setelah konflik Rusia-Ukraina pada 24 Februari 2022, harga minyak mencapai lebih dari US$100 per barel dalam waktu dua hari.

Bank Dunia memaparkan tiga skenario dampak pasokan minyak saat konflik Hamas vs Israel meletus pada Oktober 2023. Skenario tersebut meliputi gangguan kecil dengan penurunan pasokan sebesar 500.000-2 juta bpd, gangguan sedang dengan penurunan 3-5 juta bpd, dan gangguan besar dengan penurunan 6-8 juta bpd.

Meskipun dampaknya tidak sebesar pada tahun 1973 saat terjadi boikot Israel, konsekuensi perang akan tetap dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia, yang merupakan net importir minyak.

2. Meningkatnya Inflasi Global

Lonjakan harga minyak dapat mengancam meningkatnya inflasi global. Negara-negara seperti India, China, dan negara-negara besar lainnya yang menjadi importir minyak besar kemungkinan akan mengalami inflasi impor yang tinggi akibat kenaikan harga minyak.

AS, sebagai konsumen minyak terbesar di dunia, juga rentan terhadap kenaikan harga minyak yang dapat mengakibatkan peningkatan inflasi. Kenaikan harga minyak juga akan meningkatkan biaya produksi dan energi bagi industri serta rumah tangga, yang pada akhirnya akan mendorong inflasi lebih tinggi lagi.

Inflasi global yang meningkat ini akan menjadi kabar buruk bagi Indonesia karena dapat mengurangi kemungkinan pelonggaran suku bunga global.

3. Suku Bunga Tinggi yang Berlangsung Lama

Kenaikan harga energi dan inflasi global dapat menghambat bank sentral untuk menurunkan suku bunga. Hal ini dapat mengakibatkan kebijakan “higher for longer” dari bank sentral AS, seperti The Federal Reserve, terus berlanjut jika inflasi masih menjadi ancaman akibat kenaikan harga energi.

Suku bunga global yang tinggi akan mempersempit ruang lingkup Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Hal ini tentu menjadi kabar buruk karena pasar nasional telah lama menunggu pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia.

4. Penguatan Dolar AS

Ketidakpastian geopolitik cenderung mendorong pelaku pasar untuk berinvestasi pada aset safe haven seperti dolar AS.

Dolar AS pun menjadi incaran investor, yang dapat menyebabkan mata uang asing lainnya terdepresiasi. Hal ini berpotensi menyebabkan tekanan lebih lanjut pada nilai tukar rupiah.

5. Arus Keluar Modal

Perang antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023 menyebabkan mata uang dan saham global merosot, dan kondisi serupa diperkirakan dapat terulang saat pasar keuangan Indonesia dibuka kembali.

Ketidakpastian global yang meningkat akibat konflik dapat mendorong investor untuk menarik modal dari aset berisiko tinggi dan negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Contohnya, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa selama periode 9-12 Oktober 2023 terjadi arus keluar modal sebesar Rp 4,32 triliun di pasar keuangan Indonesia. Jumlah penjualan bersih sebesar Rp 4,62 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), penjualan bersih sebesar Rp 0,10 triliun di pasar saham, sementara pembelian bersih sebesar Rp 0,40 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).